Cerita ini berawal saat aku
selesai mengikuti mapel kuliah dan kembali ke rumah. Melalui alat transportasi
kereta api dan sedikit menepi. Di stasiunlah kemudian aku menunggu dan menanti.
Sesaat rasa penat tadi ketika menyimak, mendengarkan, dan menulis apa yang
diucapkan seorang akademisi dalam misinya membawa mahasiswa mencapai prestasi
yang prestisi tersebut, aku menggelengkan kepala mengharap bosan-bosanku hilang
dilindas rel kereta api kemudian pergi mencari tempat duduk untuk sedikit
relaksasi.
Aku melihat sepasang kucing yang
sedang bernostalgia, mungkin sedang berpacaran atau sejenis sayang sayang-an. Walaupun
bukan bioskop, posisi yang ditawarkan bukan di sudut melainkan di tengah, tepat
dibawah tempat duduk stasiun. Kedua kucing itu berpegangan dengan erat (versi
binatang), mereka bertatap muka, dan pada saat itu kucing jantan seakan-akan
berbicara tentang suatu hal kepada kucing betina (sepertinya ingin di pinang).
Sedikit merasakan hal konyol ketika
kucing bisa melakukan adegan "FTV" di depan umum, terlampau lucu
menggemaskan dan terkadang hewan akan fokus terhadap apa yang diinginkan. Yah,
kalau melihat hewan peliharaan tetanggaku saja, kucing kesayangannya pun
apabila mendengarkan musik seakan-akan menari menikmati hari-hari penuh nada
dan warna, menonton bersama sang pemilik, dan pada akhirnya tidur dan melakukan
aktivitas sehari hari (baca: pooping)
di tempat yang telah disediakan, like a
human, like a boss !!!
Delapan menit kemudian kedua kucing
itu berpencar. Anehnya, mata mereka berlinang air. Pertikaian itu mengundang
luka, cinta mereka kandas di tepi pintu stasiun. Pemandangan yang jarang
ditemui ini sangat menggelikan tapi kalau diingat kembali terkesan menyedihkan,
ternyata kucing jantan itu mungkin tidak mengatakan sesuatu tentang pinangan
tetapi tentang perpisahan.
Sejenak aku menunggu kereta yang
datang pada tujuanku pulang, sambil menggenggam erat tas ransel kecil yang
berisi memo dan pulpen tanpa tutup. Kucing betina menghampiriku kembali. Seakan
bertanya: "dimana si tampan". Ia beristirahat sejenak di dekat pot
dan tong sampah organik stasiun. Perlahan ku perhatikan wajahnya, dan ternyata
si meong ini sudah tidak terlihat bersedih melainkan berseri kembali sedia kala
semula se-iya se-kata (sambil mengelus lehernya).
Tak berselang beberapa menit,
pengumuman berkumandang kencang memberitahkan bahwa kereta akan tiba di stasiun
sekitar satu sampai dua transit lagi. Sedikit sumringah mendengar kakak dengan
suara cantik dan di temani aksen cadel dari lidahnya. Dari kejauhan terlihat
kucing menggigit sesuatu, semakin mendekat dan terus mendekat. Apa yang
terjadi? ternyata si kucing jantan sedang menggendong anaknya dengan mulutnya
di bagian leher si mungil. Sepertinya dia ayahnya atau tim SAR versi hewan. So freakin' cool. Rupanya mereka tak
berpisah, hanya kekhawatiran yang menyiksa. Mereka langgeng-langgeng saja.
Badannya penuh luka dan darah
berlumuran walau tidak sekental susu kalengan. Memang tidak terlalu besar
lukanya, tetapi semuanya syarat makna syarat cerita dan persyaratannya gratis
karena ikhlas sudah membayar lunas perjuangannya. Seketika aku memandang sebentar
dan memperhatikan mereka yang sedang berinteraksi. Tak lama kemudian, kereta
datang berhenti dan aku pun mengabaikannya untuk sesaat menanti kereta
selanjutnya. Kereta pun pergi dan si mungil di geletakkan begitu saja di lantai
stasiun dan kemudian sang Ibu menjilat jilat luka di tubuhnya pada si buah
hati. Konon lidah kucing adalah alat paling canggih dalam membersihkan dan
mengobati luka luar, luka dalam atau luka hati yang telah pergi :p if you know what i mean :)
Si mungil mengeong keras dan
sang ayah datang memberikannya suatu pertolongan seperti daun-daun yang punya
sedikit akar dibawahnya. Ia mengambilnya di kolong stasiun yang menempel tumbuh
merambat di sekitar bebatuan rel dan melompat ke peron stasiun kembali. Aksi
heroiknya tidak sampai disitu saja, sang ayah tidak mau kalah menjilat luka sang
anak dan menempelkan dedauannya dengan susah payah. Teriakan keras si mungil
berhenti dan berakhir dengan ciuman hangat sang ibu ke anaknya. Selanjutnya
sang ayah mencium juga anaknya dan sang istri jadi sasaran ciuman keduanya.
Kemudian mereka pergi berlari membawa kasih sayang dan cintanya masing-masing
saat sang portir kereta mengusirnya. Mereka tampak senang walau si mungil masih
terbalut daun dilapisi liur ajaib dari lidah orang tuanya "ayo nak, kita
pergi, semoga baik-baik saja".
Ini kejadian nyata yang tidak
sengaja ku temui, sebelumnya aku pernah melihat dan hanya menerka dari video
yang di unggah di internet saat seekor monyet menyelamatkan anjing yang
terkapar parah di jalan raya dan meminggirkannya ke tepi jalan, kemudian anjing
yang menyusui seekor anak kucing yang ditinggal mati induknya. Hewan penuh
cinta itu seakan mengetuk tanpa mengutuk. Kereta pun datang dan aku pulang
bersama ribuan orang berdesakan di gelap malam tanpa hujan.
Teringat kejadian tadi, bahwa lidah kucing
bermanfaat dan lidah cadel kakak moderator stasiun pun juga seakan-akan
memberitahu bahwa sebaiknya aku menunggu kereta selanjutnya agar cerita bisa
terrekam dan tersimpan dalam otak kiri yang tersusun secara rapi di laci memori.
Sesampainya di rumah impian, aku
sekejap mencari informasi lewat jaring-jaring internet yang menyebar luas ke
seluruh dunia. Ternyata tanaman yang dibawa oleh si kucing jantan adalah obat yang
tidak hanya diperuntukkan untuk hewan, tetapi untuk berbagai penyakit bagi
manusia, nama panggilannya akar kucing,
iya dia akan bilang "ada yang bisa kubantu?" ketika ditanya (menggunakan
bahasa tanaman, suara operator). sangat bermanfaat dan itu berasal dari Tuhan
yang menunjuk sang hewan sebut saja kucing kemarin sebagai media pengantar
pesan. mereka pun punya cara menyayangi dan mencintai masing masing, walaupun
hanya sekedar insting, terkadang terlihat biasa bahkan bisa menjadi sangat luar
biasa penting, Sedikit isyarat yang hangat bagai obat dan menyapu perlahan
penat juga menyembuhkan sepi yang meradang dalam kekosongan bahkan kerinduan
yang pernah mengisi A dan B akan tetapi C sampai Z pun takkan bisa masuk,
terkunci. Karena hanya terpusat pada dua subjek yaitu aku dan bagianku, kamu
terbagi untukku, salah satu boleh A boleh B, ini bukan kuisioner, ini revolusioner
(coming soon).
Pada akhirnya aku berandai, saat
esok adalah hari pertamaku memiliki kucing dan merawatnya. Selempangan doktrin
baik akan ku tuangkan ke makhluk kesayangan nabi itu. Menjadikan dokter dadakan
di rumah, mencarikan tanaman mujarabnya ketika keluargaku sakit, dan membantu
orang lain tapi tanpa perlu menjilat dan memberi ciuman sayang pada kami atau
mereka, dan terus berputar hingga esok takkan menjadi esok, berhenti pada waktu
yang telah dihentikan. hari terakhirku adalah aku punya peliharaan di nirwana.
Ya makhluk itu menggambarkan kelucuan, keluguan, manja dan terkadang memamerkan
rasa malas. Adorable.
Terkadang hitam tak selamanya
kelam dan putih tak selamanya suci, kelabu juga bagian dari hal yang
anprediktif, bisa menjurus kepada baiknya dalam bertindak ataupun buruknya
dalam berkehendak, sebagai makhluk yang pada hakikatnya lebih tinggi derajatnya
dari makhluk yang lain, kita punya akal pikiran yang membentuk kumpulan cerita,
ribuan ceria dan jutaan cinta. Persuasif, apresiatif, dan inspiratif. Mereka si
hewan dan si tumbhuan pun serempak berkata " terimakasih kaka"(versi
orang papua). Sekedar pengandaian saja !!!
Kavie, Loker Kerinduan, 18 Juni 2014